Ungkapan para sahabat..

Saidina Umar r.a berkata, "Aku lebih rela berjalan di belakang seekor singa daripada berjalan di belakang seorang wanita."
Abu Hurairah r.a. berkata, "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentera. Jika raja itu baik, maka akan baik pula lah tenteranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tenteranya".
Iman itu ialah ketaqwaan kepada Allah, penuh khauf dan raja'. Jadi apabila kita ditimpa ditimpa sesuatu musibah atau ujian pintalah kepada Allah agar dibesarkan iman untuk kita hadapinya bukan diminta dikecilkan masalah yang kita hadapi.

Monday, November 29, 2010

Bagaimana Islam Memandang Aborsi?

Sebelum membahas hukum aborsi, ada dua fakta yang dibedakan oleh para fuqaha dalam masalah ini. Pertama: apa yang disebut imlash (aborsi, pengguguran kandungan). Keduaisqâth(penghentian kehamilan). Imlash adalah menggugurkan janin dalam rahim wanita hamil yang dilakukan dengan sengaja untuk menyerang atau membunuhnya.
Dalam hal ini, tindakan imlash (aborsi) tersebut jelas termasuk kategori dosa besar; merupakan tindak kriminal. Pelakunya dikenai diyat ghurrah budak pria atau wanita, yang nilainya sama dengan 10 diyat manusia sempurna. Dalam kitab Ash-Shahîhayn, telah diriwayatkan bahwa Umar telah meminta masukan para sahabat tentang aktivitas imlâsh yang dilakukan oleh seorang wanita, dengan cara memukuli perutnya, lalu janinnya pun gugur. Al-Mughirah bin Syu’bah berkata:
«قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ بِالْغُرَّةِ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ»
Rasulullah saw. telah memutuskan dalam kasus seperti itu dengan diyat ghurrah 1 budak pria atau wanita.
Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Muhammad bin Maslamah, yang pernah menjadi wakil Nabi saw. di Madinah. Karena itu, pada dasarnya hukum aborsi tersebut haram.
Ini berbeda dengan isqâth al-haml (penghentian kehamilan), atau upaya menghentikan kehamilan yang dilakukan secara sadar, bukan karena keterpaksaan, baik dengan cara mengkonsumsi obat, melalui gerakan, atau aktivitas medis tertentu. Penghentian kehamilan dalam pengertian ini tidak identik dengan penyerangan atau pembunuhan, tetapi bisa juga diartikan dengan mengeluarkan kandungan—baik setelah berbentuk janin ataupun belum—dengan paksa.
Dalam hal ini, penghentian kehamilan (al-ijhâdh) tersebut kadang dilakukan sebelum ditiupkannya ruh di dalam janin, atau setelahnya. Tentang status hukum penghentian kehamilan terhadap janin, setelah ruh ditiupkan kepadanya, maka para ulama sepakat bahwa hukumnya haram, baik dilakukan oleh si ibu, bapak, atau dokter. Sebab, tindakan tersebut merupakan bentuk penyerangan terhadap jiwa manusia, yang darahnya wajib dipertahankan. Tindakan ini juga merupakan dosa besar.
]وَلاَ تَقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ[
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan cara yang haq. (QS al-An‘am [6]: 151).
Al-Bukhari dan Muslim juga menuturkan riwayat dari Abu Hurairah yang menyatakan:
«قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنِيْنِ اِمْرَأَةً مِنْ بَنِي لِحْيَانٍ مَيْتًا بِغُرَّةِ عَبْدٍ اَوْ اَمَةٍ»
Rasulullah telah memutuskan untuk pembunuhan janin wanita Bani Lihyan dengan ghurrah 1 budak pria atau wanita.
Janin yang dibunuh dan wajib atasnya ghurrah adalah bayi yang sudah berbentuk ciptaan (janin), misalnya mempunyai jari, tangan, kaki, kuku, mata, atau yang lain.
Mengenai penghentian kehamilan sebelum ditiupkannya ruh, para fuqaha telah berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan. Menurut kami, jika penghentian kehamilan itu dilakukan setelah empat puluh hari usia kehamilan, saat telah terbentuknya janin (ada bentuknya sebagai manusia), maka hukumnya haram. Karenanya, berlaku hukum penghentian kehamilan setelah ruhnya ditiupkan, dan padanya berlaku diyat ghurrah tersebut.
Karena itu, tema pembahasan penghentian kehamilan dalam konteks ini meliputi beberapa hal:
1- Jika seorang wanita yang tengah mengandung mengalami kesulitan saat melahirkan, ketika janinnya telah berusia enam bulan lebih, lalu wanita tersebut melakukan operasi sesar. Penghentian kehamilan seperti ini hukumnya boleh, karena operasi tersebut merupakan proses kelahiran secara tidak alami. Tujuannya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan janinnya sekaligus. Hanya saja, minimal usia kandungannya enam bulan. Aktivitas medis seperti ini tidak masuk dalam kategori aborsi; lebih tepat disebut proses pengeluaran janin (melahirkan) yang tidak alami.
2- Jika janinnya belum berusia enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka kesehatan ibunya bisa terganggu. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya tidak boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya. Sebab, sama dengan membunuh jiwa. Alasannya, karena hadis-hadis yang ada telah melarang dilakukannya pengguguran, serta ditetapkannya diyat untuk tindakan seperti ini.
3- Jika janin tersebut meninggal di dalam kandungan. Dalam kondisi seperti ini, boleh dilakukan penghentian kehamilan. Sebab, dengan dilakukannya tindakan tersebut akan bisa menyelamatkan nyawa ibu, dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapinya; sementara janin tersebut berstatus mayit, yang karenanya harus dikeluarkan.
4- Jika janin tersebut belum berusia enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka nyawa ibunya akan terancam. Dokter pun sepakat, kalau janin tersebut tetap dipertahankan—menurut dugaan kuat atau hampir bisa dipastikan—nyawa ibunya tidak akan selamat, atau mati. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya, yang dilakukan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa ibunya. Alasannya, karena Rasulullah saw. memerintahkan berobat dan mencari kesembuhan. Di samping itu, jika janin tersebut tidak digugurkan, ibunya akan meninggal, janinnya pun sama, padahal dengan janin tersebut digugurkan, nyawa ibunya akan tertolong, sementara menyelamatkan nyawa (kehidupan) tersebut diperintahkan oleh Islam.
Dengan demikian, dalil-dalil tentang kebolehan menghentikan kehamilan, khususnya untuk menyelamatkan nyawa ibu, juga dalil-dalil berobat dan mencari kesembuhan, pada dasarnya merupakan dalil mukhashshish bagi hadis-hadis yang mengharamkan tindakan pengguguran janin. Secara umum dalil haramnya pengguguran kandungan tersebut dinyatakan dalam konteks pembunuhan, atau penyerangan terhadap janin. Karena itu, penghentian kehamilan dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu tidak termasuk dalam kategori penyerangan, dan karenanya diperbolehkan. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

BOLEHKAH MUSLIMAH MELAKUKAN MASIRAH?

Masîrah secara harfiah berarti perjalanan, baik dengan diam maupun disertai dengan pembicaraan. Dalam kamus al-Mawrîd, disebutkan bahwa masîrahberarti march, atau long march; juga disamakan dengan demonstration—meski yang terakhir ini lebih tepat disebut dengan muzhâharah.[1]
Dalam konotasi etimologis, memang ada perbedaan antara masîrah danmuzhâharah. Bagi kaum sosialis, muzhâharah (demonstrasi) itu dilakukan dengan disertai boikot, aksi pemogokan, kerusuhan, dan perusakan (teror). Targetnya agar tujuan revolusi mereka berhasil dilakukan.[2] Sedangkan masîrahtidak lebih dari medium untuk menyampaikan pendapat dan tuntutan, ataupun bantahan terhadap opini atau kebijakan yang dijalankan oleh para penguasa; bukan hanya pemerintah, tetapi semua kelompok yang memegang kekuasaan—bisa legislatif, eksekutif, yudikatif, partai yang sedang berkuasa, ataupun kelompok yang menjadi sandaran kekuasaan; seperti polisi dan militer. Pendapat, tuntutan, atau bantahan tersebut disampaikan sebagai bentuk seruan (dakwah) atau koreksi (muhâsabah); tanpa disertai dengan upaya-upaya yang justru bertentangan dengan misi dakwah dan muhâsabah itu sendiri—seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror.
Karena itu, hukum asal masîrah itu sendiri mengikuti hukum uslûb yang status asalnya adalah mubah. Sebagaimana uslûb (cara) yang lain, masîrah sebagai salah satu uslûb juga bisa digunakan untuk melaksanakan kewajiban, seperti menyampaikan seruan kepada para penguasa yang zalim atau mengoreksi kebijakan mereka. Hal ini dalam rangka melaksanakan sabda Nabi saw.:

«أَلاَ وَأَنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah (menyatakan) pernyataan hak kepada penguasa yang zalim. (HR al-Hakim).

Karena itu, statusnya sebagai uslûb yang mubah tetap tidak akan berubah menjadi wajib; sekalipun uslûb tersebut bisa digunakan untuk melaksanakan dan menyempurnakan suatu kewajiban.
Sebagai uslûb yang memang mubah, masîrah tidak boleh diwarnai dengan perkara-perkara yang diharamkan, seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror; termasuk di dalamnya adalah pernyataan-pernyataan yang disampaikan pada saat masîrah. Karena itu, dalam hal ini harus diperhatikan tiga ketentuan sebagi berikut:
1.      Al-jur’ah bi al-haq, yakni lantang dan berani dalam menyuarakan kebenaran (Islam);
2.      Al-Hikmah fi al-Khithâb, yakni bijak dalam menyampaikan seruan (orasi);
3.      Husn al-Hadits, yakni baik dalam tutur bahasa.

Mengenai boleh-tidaknya wanita melakukan masîrah, jelas hukumnya mubah:
Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut.[3]
Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada ‘Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw. 
            Di samping itu, bisa dilihat dari sisi penyampaian pendapat atau protes. Dalam hal ini, Ijma’ Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basti, dalam Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa’ as-Salami).
Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak.[4]
Tindakan muhâsabah semacam ini  juga telah dilakukan oleh para sahabat wanita, seperti yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar ketika mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina keluarga ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid.[5]
Dalil-dalil di atas dengan jelas membuktikan, bahwa masîrah (long march) sebagai sebuah uslûb (cara) untuk berdakwah dan menyampaikan pandangan hukum syariat atau protes terhadap pelanggaran hukum syariat jelas mubah. Kemubahan tersebut juga berlaku bukan hanya untuk kaum pria, tetapi juga untuk para wanita. Sebagaimana dalil-dalil dan alasan yang dikemukakan di atas. Wallâhu a‘lam.

HAID TIDAK TERATUR, BAGAIMANA SHALATNYA?

SOAL :
Ustadz, saya mau bertanya berkaitan dengan masa haid dan masa istihadah. Akhir-akhir ini mengiringi kondisi tubuh saya yang memburuk, siklus haid saya juga tidak teratur. (Dan ada kelalaian saya, lupa hari apa saya dulu mengakhiri haid/mandi wajib), yang mengakibatkan saya sekarang jadi bimbang. Lebih jelasnya jadwal haid saya sebagai berikut :

BULAN MEI 2003                                                          BULAN JUNI 2003

M    Sn    Sl    Rb    Km    Jm      Sb                     M    Sn    Sl    Rb    Km     Jm       Sb
                               1       2       3                   1      2      3      4       5       6           7                    
  4     5     6     7       8       9     10                    8      9     10    11     12     13      14
11    12   13    14     15     16    17                     15    16    17    18     19     20      21
18   19    20    21    22     23    24                    22    23    24    25     26     27     28
25   26    27    28     29     30    31                     29    30
                                                                       

Keterangan : yang dicetak tebal (bold) dan digaris bawah= haid.

Nah keterangannya Ustadz,  saya agak bimbang dulu mandi wajibnya tanggal 26 atau 27 Mei. Terus kemudian tanggal 11 Juni, darah keluar lagi dan hanya sekali, satu tetes. Dan pada saat itu saya memutuskan untuk tidak sholat. Dan tanggal 24 Juni ini darah keluar lagi seperti haid biasanya. Saya ragu pada tanggal 11 Juni itu haid atau istihadah ? Dan kemudian tanggal 24 Juni ini bagaimana ? 
Kami akan menjawab lebih dahulu, tentang keraguan Anda, yaitu apakah Anda mandi wajib tanggal 26 atau 27 Mei. Berdasarkan data, Anda masih haid pada tanggal 26 Mei, dan berhenti haid tanggal 27 Mei. Jadi, kemungkinan Anda mandi wajib tanggal 27 Mei, bukan tanggal 26 Mei. Sebab, bagaimana mungkin Anda mandi wajib tanggal 26 Mei, jika keesokan harinya (tanggal 27 Mei) Anda masih haid? Bukankah andaikata Anda mandi wajib tanggal 26 Mei, artinya adalah, Anda mandi wajib sedangkan darah haidnya sendiri masih mengalir? Ataukah, Anda mengira darah telah berhenti tanggal 26 Mei lalu Anda mandi wajib, setelah itu keesokan harinya (27 Mei) darah keluar lagi lalu berhenti?

Hal ini tentu menimbulkan keraguan. Untuk mengakhiri keraguan Anda, tetapkanlah mana yang pasti. Berpeganglah pada apa yang sudah Anda yakini, bukan pada apa yang masih Anda ragui. Kaidah fiqih menyebutkan, “Al-yaqiinu laa yuzaalu bi asy-syakk.” (Sesuatu yang yakin (pasti), tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan).(Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu’, hal. 37)

Penerapan kaidah fiqih itu sebagai berikut : mandi wajib pada tanggal 26 Mei, adalah sesuatu yang meragukan, sebab berdasarkan data, tanggal 26 Mei tersebut Anda masih haid. Sedang mandi wajib pada tanggal 27 Mei, adalah lebih meyakinkan, karena bertepatan dengan berakhirnya masa haid Anda. Karena itu, tetapkanlah bahwa Anda mandi wajib tanggal 27 Mei, bukan 26 Mei, dan jadikanlah tanggal 27 Mei itu sebagai patokan tanggal berhentinya haid Anda.

Kemudian, mengenai darah yang keluar tanggal 11 Juni, apakah itu darah haid ataukah darah istihadhah? Untuk menjawabnya, perlu dijelaskan dulu walau sekilas, bahwa darah wanita itu ada 3 (tiga) macam, yaitu : (1) darah haid, (2) darah nifas, dan (3) darah istihadhah. Darah haid adalah darah yang keluar dari farji wanita dalam keadaan sehat, di luar sebab melahirkan. Darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Sedang darah istihadhah, adalah darah yang keluar di luar masa haid dan masa nifas (Lihat Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/74-75). Lalu, apakah darah yang keluar tanggal 11 Juni itu darah haid? Atau darah istihadhah? Perlu dihitung dulu, sebab dalam fiqih, ada yang disebut aqallu ath-thuhri bayna al-haidhatayn (jangka waktu minimal di antara dua haid). Taqiyuddin Al-Husaini mengatakan, jangka waktu minimal di antara dua haid, adalah lima belas hari (Kifayatul Akhyar, I/76). Contohnya, jika darah keluar lagi setelah lima hari dari hari berhentinya haid, maka berarti itu darah istihadhah, bukan darah haid. Sebab waktu suci yang ada di antara dua haid, yaitu lima hari, masih di bawah batas minimal 15 hari (sebagai masa suci minimal, di antara dua haid). Kalau misalkan, darah keluar lagi setelah dua puluh hari dari hari selesainya haid, berarti itu darah haid, bukan darah istihadhah. Sebab waktu suci di antara dua haid itu (20 hari itu), sudah melampaui batas minimal 15 hari (sebagai batas masa suci paling minimal di antara dua haid). Ini hanya contoh.

Sekarang kita lihat kasus Anda. Dalam hal ini, Anda mengakhiri haid tanggal 27 Mei 2003. Lalu ada darah yang keluar pada tanggal 11 Juni 2003. Antara tanggal 27 Mei hingga 11 Juni 2003, lamanya adalah 14 (empat belas) hari. Jadi, masih di bawah batas minimal 15 hari sebagai masa suci paling sedikit di antara dua haid. Berarti, darah tanggal 11 Juni 2003 itu, adalah darah di luar masa haid. Atau belum dihitung darah haid. (Beda kalau andaikan darahnya keluar tanggal 12 Juni, maka ia dapat dianggap darah haid, karena sudah melampaui batas minimal 15 hari. Juga beda andaikata haid berhenti 26 Mei 2003, maka darah 11 Juni 2003 adalah darah haid, karena sudah melampaui batas minimal 15 hari).

Kesimpulannya, darah 11 Juni 2003 tersebut, adalah darah istihadhah, bukan darah haid. Karena itu, pada tanggal tersebut shalat tetap wajib, sebab seorang wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) hukumnya sama dengan wanita yang suci (yang tidak haid dan tidak nifas). Wanita mustahadhah tetap wajib melakukan shalat dan puasa, dan juga boleh digauli suaminya. Hal ini berdasarkan dalil dari berbagai hadits Nabi SAW (Ash-Shan’ani, Subulus Salam,I/100-101). Maka, jika tanggal 11 Juni 2003 itu Anda tidak shalat, padahal seharusnya shalat, Anda wajib mengqadha` semua shalat yang Anda tinggalkan pada hari itu. Sebab mengqadha` shalat wajib yang terlewat (tak dikerjakan) adalah wajib, sama saja apakah seseorang meninggalkannya karena ada udzur syar’i (alasan yang dibenarkan syara’) –misalnya karena tertidur, lupa, atau tidak memahami hukumnya jika orang yang semisal dia juga tidak memahaminya— ataukah meninggalkannya tanpa udzur syar’i, misalnya meninggalkan shalat secara sengaja (Ali Ar-Raghib, Ahkam Ash-Shalat, hal. 94-95).

Adapun darah tanggal 24 Juni (juga 25 Juni) 2003, adalah darah haid seperti biasa, sebab telah melampaui batas minimal jangka waktu di antara dua haid (15 hari). Antara tanggal 27 Mei hingga 24 Juni 2003, lamanya 27 hari. Dengan demikian, pada dua hari itu (24 dan 25 Juni) berlaku hukum-hukum untuk wanita haid, seperti tidak boleh melakukan shalat. Jika pada tanggal 24 dan 25 Juni itu Anda justru shalat (misalkan), maka sudahlah. Beristighfarlah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah diri Anda di kemudian hari. Wallahu a’lam.


HUKUM WANITA BERZIARAH KUBUR

Wanita melakukan ziarah kubur hukumnya adalah makruh, bukan haram (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142; Zakariya Al-Anshari,  Fathul Wahhab, I/100; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, I/170). Jadi, wanita yang berziarah kubur tidak berdosa, tetapi sebaiknya wanita tidak melakukannya.

Dalilnya adalah hadits Nabi SAW riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah melintasi seorang wanita yang sedang menangis di dekat kubur anaknya. Lalu Nabi SAW berkata kepada wanita itu,”Bertakwalah kamu kepada Allah, dan bersabarlah!” (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 143, As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142).

Perkataan Nabi SAW ”Bertakwalah kamu kepada Allah, dan bersabarlah!” menunjukkan bahwa wanita yang menangis di dekat kubur anaknya itu tidak bertakwa dan tidak bersabar. Padahal wanita itu menjadi tak bertakwa dan tak bersabar, adalah karena menziarahi kubur anaknya. Berarti, hadits itu menunjukan adanya larangan (nahi) bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur. Hanya saja, larangan tersebut bukanlah larangan yang tegas/pasti (jazim) –yang menunjukkan hukum haram— melainkan larangan yang tidak tegas/pasti (ghayr jazim), yang menunjukkan hukum makruh. Hal ini bisa diketahui dari beberapa qarinah (indikasi) yang ada. Di antaranya, Nabi SAW –dalam hadits Anas RA tersebut– tidak memerintahkan secara tegas kepada wanita tersebut untuk segera meninggalkan kubur anaknya. Kalau sekiranya ziarah kubur hukumnya haram, niscaya Nabi SAW tidak akan mencukupkan diri hanya dengan menyuruh wanita itu bertakwa dan bersabar, tetapi juga akan memerintahkan wanita itu untuk segera meninggalkan kubur anaknya. Kenyataannya Nabi SAW tidak memerintahkan wanita itu meninggalkan kubur anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa larangan Nabi SAW kepada wanita untuk berziarah kubur, bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142).

Selain itu, masih ada qarinah-qarinah lain yang menunjukkan bahwa larangan ziarah kubur bagi wanita bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh. Imam Muslim meriwayatkan, bahwa ‘A`isyah RA bertanya kepada Nabi SAW,”Bagaimana aku mengucapkan [doa], wahai Rasulullah, jika aku berziarah kubur? Nabi SAW berkata,”Ucapkanlah ‘Assalamu ‘ala ahlid diyaari minal mu`miniin wal muslimiin wa yarhamullaahul mustaqdimiina wal musta`khiriina, wa innaa in syaa`allaahu bikum laahiquun.”[1] (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/114; Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 142). Hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW membolehkan (men-taqrir) wanita untuk berziarah kubur. Sebab jika tidak boleh, niscaya Nabi SAW tidak akan mengajarkan doa tersebut kepada ‘A`isyah RA dan bahkan akan melarangnya untuk berziarah kubur. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa sebagian sahabat Rasulullah SAW yang wanita melakukan ziarah kubur, sebab hukumnya memang tidak haram. ‘A`isyah RA sendiri pernah menziarahi kubur saudara laki-lakinya, yakni Abdurrahman bin Abi Bakar, yang wafat dan dimakamkan di Makkah (Subulus Salam, Juz II/114).  Fatimah RA juga diriwayatkan menziarahi kubur pamannya, yaitu Hamzah bin Abdil Muthallib, pada setiap hari Jumat, lalu Fatimah berdoa dan menangis di sisi kubur pamannya (HR Al-Hakim, dari ‘Ali bin Al-Husain RA, Subulus Salam,II/115).

Jika kita gabungkan berbagai qarinah ini dengan larangan (nahi) dari hadits Nabi SAW untuk menziarahi kubur bagi wanita (hadits Anas RA), jelaslah bahwa larangan yang ada bukanlah larangan tegas (jazim), melainkan larangan yang tidak tegas (ghayr jazim). Maka, ziarah kubur bagi wanita hukumnya adalah makruh, bukan haram.

Perlu kami tambahkan sedikit keterangan, bahwa ada sebagian ulama yang mengharamkan wanita melakukan ziarah kubur. Bahkan mereka menganggap perbuatan itu sebagai dosa besar. Demikianlah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Lihat Abdur Rahman bin Abdullah Al-Ghaits, Bimbingan Lengkap Penyelenggaraan Jenazah [Al-Wijaazah fi Tajhiizil Janaazah], Solo : At-Tibyan, 2003, hal. 248).

Dalil pendapat ini adalah hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW melaknat para wanita yang berziarah kubur [Arab : la’ana rasulullahi zaa`i`raat al-qubuur] (HR. At-Tirmidzi, dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/114; HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Hisan bin Tsabit RA, hadits ini dinilai shahih oleh As-Suyuthi, lihat As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 124).

Menurut pemahaman kami, pendapat ini lemah. Sebab, larangan ziarah kubur bagi wanita dalam hadits Abu Hurairah tersebut, telah dihapuskan (di-nasakh) oleh Nabi SAW. Hal ini bisa diketahui dari hadits riwayat Imam Muslim dari Buraidah bin Al-Hashib Al-Aslami RA, dia berkata,”Telah berkata Rasulullah SAW,’Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka [sekarang] berziarahlah kalian.” (Subulus Salam, II/114). Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa sebelumnya Nabi SAW memang mengharamkan ziarah kubur. Namun, kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk ziarah kubur. Jadi, hadits Buraidah ini menghapuskan (me-nasakh) larangan Nabi SAW untuk berziarah kubur sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah di atas. Ini diperkuat lagi dengan hadits lain, dari Abdullah bin Abi Malikah RA, bahwa  ‘A`isyah pada suatu hari datang dari kuburan, maka saya (Abdullah bin Abi Malikah RA) bertanya kepadanya,”Wahai Ummul Mu`minin, dari mana Anda datang?” ‘A`isyah menjawab,”Dari kuburan saudaraku, Abdurrahman.” Saya bertanya lagi kepadanya,”Bukankah Rasulullah telah melarang ziarah kubur?” ‘A`isyah menjawab,”Memang, dahulu Rasulullah melarang ziarah kubur, tapi kemudian beliau memerintahkan menziarahi kubur.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Lihat Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqih Wanita (Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah), Alih Bahasa Anshori Umar Sitanggal, Semarang : Asy-Syifa`, 1986, hal. 177-178).

Dengan demikian, berdasarkan hadits terakhir ini, jelaslah bahwa larangan ziarah kubur (termasuk ziarah kubur bagi wanita) hukumnya telah dinasakh dan tidak berlaku lagi (Al-Amidi,Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, III/99). Maka dari itu, ziarah kubur sekarang hukumnya tidaklah haram, namun diperintahkan Nabi SAW.

Adapun perintah Nabi SAW untuk ziarah kubur,”…maka berziarahlah kalian, fa-zuuruuha),” pada asalnya menunjukkan hukum boleh (ibahah) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, III/40). Sebab adanya perintah sesudah larangan, menunjukkan boleh (ibahah). Demikian kaidah mayoritas fuqaha (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, II/315). Namun hukum boleh ini ternyata disertai pujian (al-madh) bagi yang melakukannya, sebagai qarinah yang menunjukkan hukum mandub (sunnah). Dalam riwayat At-Tirmidzi, hadits Nabi SAW ”…maka berziarahlah kalian!” ada tambahannya, yaitu sabda Nabi SAW,”Karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.” (Arab : fa-innahaa tudzakkir al-akhirah). Jadi, hadits ini lengkapnya,”Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka [sekarang] berziarahlah kalian. Karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.”  (HR. At-Tirmidzi, Subulus Salam, II/114). Adanya hikmah ziarah kubur sebagai pengingat akhirat, menunjukkan adanya pujian (al-madh) terhadap aktivitas ziarah kubur. Dengan demikian, pada hadits ini terdapat suatuqarinah yang lebih merajihkan (menguatkan/mengunggulkan) dilakukannya ziarah kubur daripada tidak dilakukannya ziarah kubur.

Maka dari itu, ziarah kubur hukumnya adalah mandub (sunnah) menurut syara’. Hukum ini adalah bagi para laki-laki. Adapun bagi para wanita, hukumnya adalah makruh, seperti telah diterangkan sebelumnya. Hukum makruh itu artinya lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, meskipun jika dikerjakan tidak berdosa. Jadi, lebih baik wanita tidak melakukan ziarah kubur. Itulah yang lebih baik baginya. Wallahu a’lam

HUKUM WANITA MENGANTAR JENAZAH KE KUBURAN


Hukum wanita mengantar jenazah ke kuburan, adalah makruh. 
Demikianlah pendapat jumhur ulama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/108). Jadi, lebih baik bagi wanita tidak ikut mengantar jenazah ke kuburan. Dalilnya adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat wanita bernama Ummu ‘Athiyah RA. Ummu ‘Athiyah berkata,”Kami telah dilarang untuk mengikuti jenazah, tetapi tidak dikeraskan (larangan itu) atas kami.”  (Muttafaq ‘alaih, Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/108).

Memang, hadits tersebut bukanlah perkataan Nabi SAW, melainkan perkataan Ummu ‘Athiyah. Dalam redaksi hadits itu hanya dikatakan,”Kami telah dilarang mengikuti jenazah…” (Arab :Nuhiina ‘an ittiba’ al-janaazah…). Tidak disebut di sini siapa fa’il (subjek) yang melarang perbuatan tersebut. Dalam ilmu musthalah hadits, hadits dengan redaksi semacam ini, disebutatsar atau hadits mauquf, yaitu suatu perkataan, atau perbuatan atau persetujuan (taqrir) yang berasal dari seorang sahabat (Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 130-131; Dr. Shubhi Ash-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu, hal.11 & 208). Namun demikian, ada di antara hadits mauquf yang dihukumi sebagai hadits marfu’, yakni maksudnya berasal dari Nabi Muhammad SAW, jika terdapat indikasi-indikasi tertentu yang menunjukkan bahwa isi hadits bukanlah berasal dari ijtihad atau pendapat (ra`yu) sahabat, melainkan dari Nabi SAW. Hadits semacam ini oleh para ‘ulama disebut sebagai al-marfu’ hukman, yakni suatu hadits yang secara redaksional (lafzhan) adalah mauquf, tetapi secara hukum adalah hadits marfu’ (Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 131).

Hadits Ummu ‘Athiyah di atas termasuk hadits yang secara lafazh termasuk hadits mauquf, tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’. Jadi, meskipun redaksinya “Kami dilarang…” tetapi jumhur ulama ushul fiqih dan muhadditsin mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits marfu’. Sebab sudah jelas bahwa yang melarang dan memerintah, adalah Nabi Muhammad SAW, bukan yang lain (Subulus Salam, II/108; Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 132). Karena itu, hadits Ummu ‘Athiyah ini dapat dijadikan hujjah (dalil).

Perkataan Ummu ‘Athiyah, “…tetapi tidak dikeraskan (larangan itu) atas kami.” (Arab : wa lam yu’zam ‘alaynaa), menunjukkan hukum makruh, bukan haram. Yaitu, memang ada suatu larangan (nahi), atau tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab at-tarki), tetapi tuntutan itu bukanlah tuntutan yang bersifat tegas/pasti (laa ‘ala wajh al-hatm wa al-ilzaam) (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, hal. 114; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, I/83). Hal ini bisa diketahui karena terdapat qarinah (indikasi/petunjuk) dari hadits lain, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah berada di [dekat] jenazah. Lalu Umar melihat seorang perempuan, lalu ia [Umar] berteriak kepada wanita itu. Maka Nabi SAW bersabda, ”Biarkanlah dia, wahai Umar.”  (Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i dan Ibnu Majah dari jalur lain, dan para perawinya adalah tsiqat) (Subulus Salam, II/108). Hadits ini mengandung makna, bahwa perempuan itu dibolehkan Nabi SAW untuk turut mengantar jenazah ke kubur. Kalau sekiranya haram, niscaya tidak ada perempuan di dekat jenazah itu dan niscaya Nabi SAW tidak akan melarang Umar RA yang berteriak memperingatkan perempuan tersebut.

Kesimpulannya, hukumnya makruh bagi wanita untuk turut mengantarkan jenazah ke kubur. Jadi, hal ini masih boleh dikerjakan wanita. Tetapi kalau tidak mengantarkan, itulah yang lebih baik dan lebih utama baginya. Wallahu a’lam.

MEMBACA QUR`AN, MASUK MASJID, DAN MANDI WAJIB BAGI WANITA HAID

a. Wanita Haid Membaca Al-Qur`an
Menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad, haram hukumnya wanita haid membaca Al-Qur`an. Imam Malik membolehkan membaca beberapa ayat. Sedangkan menurut Imam Dawud Az-Zahiri, boleh wanita haid membaca Al-Qur`an (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hal. 18).
Mengapa timbul perbedaan pendapat? Sebab para ulama berbeda dalam menilai hadits dalam masalah ini. Nabi SAW bersabda,”Tidaklah boleh orang junub dan juga wanita haid membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Sebagian ulama menganggap hadits ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah (alasan) (Kifayatul Akhyar, I/77-79; Subulus Salam, I/88). Sementara itu sebagian ulama lainnya menganggap hadits itu bukan hadits dhaif.
Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat yang mengharamkan wanita haid membaca Al-Qur`an. Sebab meskipun sebagian ulama melemahkan hadits di atas, namun hadits tersebut dianggap hasan (cukup baik) oleh Imam As-Suyuthi, sehingga layak menjadi dalil (As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 205). Namun, yang diharamkan adalah jika wanita haid itu semata berniat membaca (qira`ah), sebagai amal ibadah. Jika, dia tidak meniatkannya sebagai bacaan ibadah, boleh hukumnya membaca Al-Qur`an. Misalnya, membaca Al-Qur`an dengan niat berdzikir, memberi nasehat atau berdakwah, menceritakan kisah, atau menghafal ayat. (As-Sayyid Al-Bakri, I’anatuth Thalibin, I/69). Hal ini sesuai hadits Nabi,”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
b. Wanita Haid Masuk Masjid
Jumhur ulama, yakni Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, sepakat wanita yang haid tidak boleh berdiam di dalam masjid. Namun Imam Dawud Az-Zahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hal. 17).
Akar perbedaan pendapat itu karena para ulama berbeda pandangan mengenai hadits Nabi SAW yang berarti, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud). Jumhur ulama menganggap hadits ini sahih atau hasan, sehingga mengamalkannya dengan mengharamkan wanita haid masuk dan berdiam di masjid. Namun ada ulama yang tidak menganggapnya sebagai hadits yang layak sebagai hujjah. Karenanya mereka tidak mengamalkannya.
Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, karena hadits di atas sesungguhnya adalah hadits yang layak menjadi hujjah. Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. (Subulus Salam, I/92). Menurut Ibn Al-Qaththan, hadits ini hasan (Kifayatul Akhyar, I/80).
c. Rambut Rontok dalam Mandi Wajib
Dalam mandi wajib, wanita haid diharuskan meratakan air ke seluruh tubuh hingga rambut, termasuk rambut yang rontok sebelum seseorang mandi wajib (Kifayatul Akhyar, I/39; I’natuth Thalibin, I/75). Dalilnya adalah hadits Nabi SAW,”Barangsiapa meninggalkan tempat (selubang) rambut dari mandi janabah yang tidak dibasuh, maka akan diberlakukan begini begini di neraka.”(HR Abu Dawud). Karena itu, rambut termasuk yang harus dibasuh dalam mandi wajib. Termasuk yang rontok sebelum mandi wajib. Kemungkinan perbedaan pendapat bisa saja muncul karena sebab-sebab seperti yang diterangkan di atas. Yaitu karena berbeda penilaian terhadap hadits, atau berbeda dalam memahami pengertian hadits. Wallahu a’lam.