Ungkapan para sahabat..

Saidina Umar r.a berkata, "Aku lebih rela berjalan di belakang seekor singa daripada berjalan di belakang seorang wanita."
Abu Hurairah r.a. berkata, "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentera. Jika raja itu baik, maka akan baik pula lah tenteranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tenteranya".
Iman itu ialah ketaqwaan kepada Allah, penuh khauf dan raja'. Jadi apabila kita ditimpa ditimpa sesuatu musibah atau ujian pintalah kepada Allah agar dibesarkan iman untuk kita hadapinya bukan diminta dikecilkan masalah yang kita hadapi.

Monday, November 29, 2010

HUKUM WANITA MENGANTAR JENAZAH KE KUBURAN


Hukum wanita mengantar jenazah ke kuburan, adalah makruh. 
Demikianlah pendapat jumhur ulama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/108). Jadi, lebih baik bagi wanita tidak ikut mengantar jenazah ke kuburan. Dalilnya adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat wanita bernama Ummu ‘Athiyah RA. Ummu ‘Athiyah berkata,”Kami telah dilarang untuk mengikuti jenazah, tetapi tidak dikeraskan (larangan itu) atas kami.”  (Muttafaq ‘alaih, Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/108).

Memang, hadits tersebut bukanlah perkataan Nabi SAW, melainkan perkataan Ummu ‘Athiyah. Dalam redaksi hadits itu hanya dikatakan,”Kami telah dilarang mengikuti jenazah…” (Arab :Nuhiina ‘an ittiba’ al-janaazah…). Tidak disebut di sini siapa fa’il (subjek) yang melarang perbuatan tersebut. Dalam ilmu musthalah hadits, hadits dengan redaksi semacam ini, disebutatsar atau hadits mauquf, yaitu suatu perkataan, atau perbuatan atau persetujuan (taqrir) yang berasal dari seorang sahabat (Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 130-131; Dr. Shubhi Ash-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu, hal.11 & 208). Namun demikian, ada di antara hadits mauquf yang dihukumi sebagai hadits marfu’, yakni maksudnya berasal dari Nabi Muhammad SAW, jika terdapat indikasi-indikasi tertentu yang menunjukkan bahwa isi hadits bukanlah berasal dari ijtihad atau pendapat (ra`yu) sahabat, melainkan dari Nabi SAW. Hadits semacam ini oleh para ‘ulama disebut sebagai al-marfu’ hukman, yakni suatu hadits yang secara redaksional (lafzhan) adalah mauquf, tetapi secara hukum adalah hadits marfu’ (Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 131).

Hadits Ummu ‘Athiyah di atas termasuk hadits yang secara lafazh termasuk hadits mauquf, tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’. Jadi, meskipun redaksinya “Kami dilarang…” tetapi jumhur ulama ushul fiqih dan muhadditsin mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits marfu’. Sebab sudah jelas bahwa yang melarang dan memerintah, adalah Nabi Muhammad SAW, bukan yang lain (Subulus Salam, II/108; Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 132). Karena itu, hadits Ummu ‘Athiyah ini dapat dijadikan hujjah (dalil).

Perkataan Ummu ‘Athiyah, “…tetapi tidak dikeraskan (larangan itu) atas kami.” (Arab : wa lam yu’zam ‘alaynaa), menunjukkan hukum makruh, bukan haram. Yaitu, memang ada suatu larangan (nahi), atau tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab at-tarki), tetapi tuntutan itu bukanlah tuntutan yang bersifat tegas/pasti (laa ‘ala wajh al-hatm wa al-ilzaam) (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, hal. 114; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, I/83). Hal ini bisa diketahui karena terdapat qarinah (indikasi/petunjuk) dari hadits lain, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah berada di [dekat] jenazah. Lalu Umar melihat seorang perempuan, lalu ia [Umar] berteriak kepada wanita itu. Maka Nabi SAW bersabda, ”Biarkanlah dia, wahai Umar.”  (Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i dan Ibnu Majah dari jalur lain, dan para perawinya adalah tsiqat) (Subulus Salam, II/108). Hadits ini mengandung makna, bahwa perempuan itu dibolehkan Nabi SAW untuk turut mengantar jenazah ke kubur. Kalau sekiranya haram, niscaya tidak ada perempuan di dekat jenazah itu dan niscaya Nabi SAW tidak akan melarang Umar RA yang berteriak memperingatkan perempuan tersebut.

Kesimpulannya, hukumnya makruh bagi wanita untuk turut mengantarkan jenazah ke kubur. Jadi, hal ini masih boleh dikerjakan wanita. Tetapi kalau tidak mengantarkan, itulah yang lebih baik dan lebih utama baginya. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment