Soal: Dalam situs Salafy saya mendapatkan tulisan yang berjudul “Membongkar Selubung Hizbut Tahrir”, oleh Syaikh ‘Abdurrahman ad-Dimasyqiyyah. Dalam tulisan tersebut beliau mengatakan bahwa: “dalam kitab Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132, tulisannya menjurus pada ke-maturidiyah- dan ke-asy’ariyah-. Karena men-ta’wilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia artikan sebagai kekuatan atau kekuasaan. Padahal dalam kitab Syarhul Fiqhul Akbar Abu Hanifah halaman 33dapat kita temukan, disitu dikatakan bahwa tidak boleh untuk men-ta’wilkan tangan Allah sebagai kekuatan atau kekuasaan. Dan juga dalam kitab Tabyin Khadibul Muftari halaman 150, disana terdapat perkataan dari Imam Asy’ari (Abul Hasan Al Asy’ari) sendiri bahwa tidak boleh menyatakan atau meng-qiyaskan tangan Allah itu sehingga artinya adalah kekuatan atau kekuasaan. Sebab itu adalah perkataannya Mu’tazilah, salah satu firqah yang paling sesat.” Mohon penjelasannya.
Jawab: Setahu saya, penakwilan terhadap “tangan Allah” harus dikembalikan kepada konteks kalimatnya. Tidak benar, bahwa semua frasa “tangan Allah” tidak boleh ditakwilkan dengan kekuasaan atau kekuatan, akan tetapi harus dipahami berdasarkan kemujmalan ayat tersebut. Ini bisa dimengerti karena, dalam bahasa Arab, dikenal istilah majaz dan hakiki, balaghah, dan seterusnya. Kadang-kadang, suatu nash menggunakan bentuk hakiki, padahal yang dimaksud adalah makna majazinya. Atas dasar itu, apakah tangan Allah bermakna hakiki atau majazi dikembalikan lagi pada konteks kalimatnya. Untuk itu, konsepsi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, mengenai tangan Allah yang boleh ditakwilkan dengan kekuasaan dan kekuatan, tidak didasarkan pada peniruan kepada Mu’tazilah atau kelompok yang lain. Bahkan, pendapat yang menyatakan bahwa “tangan Allah” boleh ditakwilkan juga diketengahkan oleh ‘ulama-ulama besar Ahlu Sunnah. Sebagai contoh, di dalam Tafsîr al-Qurthubi, disebutkan bahwa maksud dari “tangan Allah” pada surat al-Fath [48]: 10, adalah sebagai berikut. Ada sebagian ulama menafsirkan frase “tangan Allah” dengan “tanganNya yang penuh pahala atas tangan mereka yang selalu menetapi janjinya.” Al-Kalabiy menyatakan, bahwa makna “tangan Allah di atas tangan mereka” adalah nikmat Allah yang diberikan kepada mereka melebihi baiat yang telah mereka lakukan. Ibnu Kîsân menyatakan, “Kekuatan Allah dan pertolonganNya di atas kekuatan dan pertolongan mereka.” (Imam al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi). Dalam Tafsîr Jalalain,Imam as-Suyuthi menyatakan, bahwa makna “tangan Allah di atas tangan mereka” adalah, “Allah telah menyaksikan baiat mereka dan Allah memberikan pahala kepada mereka.” (al-Hafidz as-Suyuthi, Tafsîr Jalalain).
Yang jelas, konsepsi penafsiran al-Qur’an harus dikembalikan lagi pada metodologi yang benar, yakni tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dan Sunnah, atau tafsir al-Qur’an dengan bahasa Arab. Menurut Syaikh Taqiyyuddin, pada konteks awalnya, suatu kata harus dimaknai dengan makna hakiki dan tidak boleh dimaknai dengan makna majazi, kecuali ada qarinah yang menunjukkan.
Hakekat adalah lafadz yang konteks awalnya digunakan untuk menunjuk pengertian tertentu. Semisal kata al-asad adalah lafadz yang konteks awalnya digunakan untuk menunjuk pengertian tertentu, yakni, seekor binatang buas. Majaz adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan pengertian tertentu yang berbeda dengan pengertian yang ditunjuk pada konteks awalnya, namun dari sisi makna, keduanya (makna bahasa dan majaz) memiliki hubungan korelatif. Semisal kataal-asad dimaknai dengan seorang lelaki pemberani. Majaz memiliki tiga bentuk, pertama, majazdalam bentuk mufrad. Semisal, al-asad dengan pengertian lelaki pemberani. Kedua, majazdalam bentuk susunan kata atau kalimat. Ketiga, majaz dalam bentuk mufrad dan susunan kata atau kalimat secara bersamaan.
Syarat penggunaan hakekat majaz adalah adanya korelasi antara makna hakiki dengan maknamajaz. Hubungan antara kedua makna tersebut harus sesuai dengan bentuk-bentuk hubungan‘alaqah yang telah digunakan oleh orang Arab, apakah bentuk hubungan sababiyyah, hâliyyah, dan lain-lain. Sebagian orang Arab menyatakan bahwa bentuk majaz Arab ada 25 jenis majaz, ada pula yang berpendapat 21 jenis majaz, dan ada pula 12 bentuk majaz. Penafsiran tangan Allah dengan qudrah Allah sejalan dengan salah satu bentuk majaz sababiyyah. Keterangannya sebagai berikut (lihat Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III):
Sababiyyah, yakni gaya pengungkapan dengan menyebutkan sababnya sedangkan yang dimaksud adalah al-musababnya. Gaya pengungkapan al-sababiyyah ada empat macam,pertama, al-sababiyyah al-qâbiliyyah, yakni mengungkapkan sesuatu dengan isim qabilnya. Sebagai contoh, ungkapan, “Saya minta wadi”. Peminta air mengungkapkan air dengan kata al-wadi. Sebab, wadi adalah sabab al-qabil bagi air. Kedua, al-qabiliyyah al-shuwariyyah, semisal pengungkapan “tangan” dengan maksud “al-qudrah (kemampuan/kekuasaan)”. Sebab, “qudrah” biasa diungkapkan dengan menggunakan kata “tangan”. Semisal dalam firman Allah SWT, “Tangan Allah di atas tangan mereka”, maksudnya “Qudrah Allah di atas qudrah mereka”.Ketiga, al-sababiyyah al-fâ’iliyyah, semisal ungkapan “Turunnya mendung”, yang dimaksud adalah hujan. Hujan diungkapan dengan kata “al-sahâb (mendung)”, “mendung adalah sebab langsung turunnya hujan”. Keempat, al-sababiyyah al-ghâ’iyyah. Seperti kata al-‘inabdiungkapkan dengan makna “khamr”. Sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku memeras khamr” (Qs. Yûsuf [12]: 36). Kata khamr pada ayat tersebut bermakna al-‘inab (anggur). Kata khamr diungkapkan dengan arti anggur. Sebab, orang yang memeras anggur bertujuan untuk membuat khamr.
Di sisi yang lain, pendapat Imam Abu Hanifah hanyalah salah satu pendapat yang diketengahkan oleh ‘ulama-‘ulama Muslim, sebagaimana pendapat-pendapat ulama lain yang bertentangan dengan Imam Abu Hanifah. Yang terpenting adalah, perbedaan pendapat dalam masalah semacam ini tidak boleh memancing atau menimbulkan takfir (pengkafiran) dan tadhlîl(penyesatan). Sebab, perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah perbedaan yang diperbolehkan. Untuk itu, pendapat yang diketengahkan oleh ‘ulama-‘ulama Mu’tazilah, semampang masih sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka pendapat mereka tidak boleh dikatakan sebagai “pendapat yang telah keluar dari Islam”.
Dalam masalah seperti ini, sikap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, sejalan dengan pendapatImam Ghazali, Imam Ibnu Taimiyyah, dan juga Prof. Mahmud Syaltut, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ahlu sunnah, mu’tazilah dan jabriyyah dalam cabang ‘aqidah tidak menjatuhkan mereka dalam kekafiran ataupun kesesatan. Sebab, mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah prinsip ‘aqidah, namun hanya berbeda pendapat dalam masalah cabang ‘aqidah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
No comments:
Post a Comment